MUSUH UTAMA ADALAH DIRI KITA SENDIRI

Selasa, 20 Mei 2014 0 komentar
“MENGAPA”. Retorika ini yang sering saya (dan nampaknya kita semua) ajukan entah pada pengadilan yang mana. menjadi seorang kaum gay memang tidak mudah. Itu bisa kita akui dengan banyaknya penyesuaian diri (untuk tidak mengatakan bersembunyi) orang-orang seperti kita dari kehidupan kebanyakan manusia. Malu, minder, takut, dan khawatir jati diri yang sebenarnya diketahui banyak orang. Kita seakan membawa sesuatu yang nampaknya begitu buruk dan hina. Sesuatu yang menyebabkan orang di luar sana akan menghina, mencemooh, mengejek, merendahkan, bahkan menganiaya kita. Menakutkan bagi kita.
Ketika kita menyadari kondisi ini, saat itu pula kita telah menjadi seorang terdakwa dengan ponis terberat tanpa tahu apa perkaranya. Ya, tanpa tahu mengapa perkara itu harus terjadi pada hidup kita.
Selama ini media (baik yang pro terlebih yang kontra dengan keadaan kita) nyaris tak pernah memaparkan nilai positif terhadap diri kita. Setidaknya secara tidak langsung bagi mereka yang pro. Sementara yang kontra tentu jelas-jelas menelanjangi golongan kita.
Coba kita perhatikan, media yang pro pada kita. Tulisan-tulisan yang dimuat tak lebih mlulu seputar sex. Suatu sorotan yang walau (seakan) mengangkat sisi positif, tapi secara mutlak inilah perbedaan dalam diri kita. Hal ini justru semakin membuat kita menjadi semakin kontras terhadap kehidupan umum di luar sana. Semakin menitik beratkan pada beban yang selama ini menjadi sumber utama masalah kita. Orientasi seksual dan sex itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan media yang kontra? Saya rasa sobat-sobat sudah cukup tahu bagaimana sikap mereka memandang kita.
Sobat pembaca yang setia, bila kita memang merasa memiliki hak yang sama, status yang sama, dan ingin disamakan bukankah sudah seharusnya diri kitalah yang harus menunjukkan dan memulainya itu. Eksis. Bukan menutup diri dan menegaskan kepada orang lain bahwa kita menyimpan sesuatu. Bukan berarti kita terbuka begitu saja terhadap orang lain. Tentu tidak demikian. Kita perlu tampil, seperti orang-orang pada umumnya yang tampil dengan kemampuannya masing-masing dan tidak hanya masalah sex saja.
Bila eksistensi kita hanya dalam warna itu saja, tegas saya katakan: kita sebagai kaum kaum gay tak lebih dari manusia murahan yang hanya tahu menjajakan sex. Tak lebih dari yang namanya pelacur. Bukankah hanya pelacur yang selama hidupnya hanya paham masalah sex dan pemuas nafsu. Ada lagi yang kita ketahui selain itu dari istilah pelacur!?
Kondisi demikian membuat eksistensi kita benar-benar menjijikkan. Bahkan untuk manusia hetero pun jika perilakunya hanya identik dengan nafsu dan sex, maka orang-orang akan membencinya. Apa lagi golongan seperti kita!
Pernahkah kita menyimak atau bahkan belajar dan diajarkan sisi lain yang masih sangat potensial dalam diri kita. Suatu hal dalam diri kita yang memang benar-benar sederajat dengan kehidupan umum di luar. Hal yang bila mereka pun tidak tahu akan menjadikan mereka tidak lebih baik dari kita.
Kerendahdirian seorang kaum gay hanya tentang bagaimana mereka tahu potensi mereka. Dalam hal ini kita benar-benar sama sederajat dengan orang lain. Bila kita ingin disederajatkan dengan orang-orang pada umumnya, maka perlakuan adil itu setidaknya dimulai dari diri kita sendiri. Ya, pertanyaan mendasar dalam masalah ini kita mulai dari diri pribadi.
Apakah kita sendiri telah menganggap diri kita sama dan sederajat dengan manusia lainnya?
Bila kita berfikir “aku berbeda”, maka secara mutlak kita telah memponis diri kita sendiri bahkan sebelum orang lain menghukum kita. Pernyataan ini sebetulnya merupakan masalah umum dalam kehidupan manusia. Tanpa peduli apakah dia kaum gay atau bukan. Tidak jauh berbeda dari orang-orang yang selalu menganggap dirinya miskin, bodoh, jelek, dan keadaan buruk lainnya yang dia anggap menjadi penghalang untuk sukses seperti orang lain. Ini bukan masalah orientasi seksual pada golongan tertentu.
Terlebih kaum kaum gay memiliki fokus tersendiri pada masalah ini. Bagaimana kita berharap orang-orang bisa menerima keadaan kita, jika diri kita saja tidak bisa menerimanya. Kita telah menganggap keadaan kita sebagai suatu masalah yang bahkan orang lain pun belum tentu menganggapnya demikian. Ketika kita selalu menghubungkan kepribadian kita hampir di setiap kegagalan dalam hidup kita, secara tidak langsung kita semakin memperuncing dan mempertegas bahwa hidup sebagai seorang kaum gay adalah masalah terbesar kita.
Kita tak punya teman, karena kita adalah kaum gay.
Kita tak bisa pintar, karena kita adalah kaum gay.
Kita tak bisa mendapat pekerjaan, karena kita adalah kaum gay.
Tak bisa dekat dengan orang yang kita cintai, tak bisa sukses, tak bisa meraih cita-cita.
Kita tak bisa apa-apa hanya karena kita menegaskan bahwa kita adalah kaum gay.
Ya, dengan menegaskan itu semua maka kita sudah menutup pintu kesuksesan dan kebahagiaan kita. Seakan kita tidak tahu lagi rencana hidup kita kedepan akan seperti apa dan harus bagaimana. Kemudian setelah itu semua, satu-satunya hal yang menjadi rencana kita adalah menutup diri di hadapan orang lain. Membatasi interaksi kita kepada lingkungan yang sebetulnya bisa membantu kita. Kita hanya mau berkumpul dengan orang-orang yang dirasa senasib dengan kita untuk sekedar bersenang-senang.
Bila kita meninggalkan kehidupan sosial bersama orang-orang pada umumnya kita selamanya tidak akan terlatih menghadapi kondisi kita. Orang-orang yang senasib dengan kita pun hanya memanjakan kita dengan kondisi tersebut tanpa memberi pengalaman dalam menghadapi masalah utama kita.
Kita bisa merasa senang bersama orang-orang yang sama dengan kita. Merasa lebih dihargai, merasa bisa diterima dan didukung sepenuhnya, tidak dicemooh, tidak disakiti dan lain sebagainya. Tapi ingat! Di dunia ini kita hidup bersamanya banyak orang. Dunia ini tak bisa hanya diisi dan dilalui oleh orang-orang seperti kita. Sepertinya jumlah kita jauh lebih sedikit dan itu membuat kita mau tidak mau lebih banyak berinteraksi dengan orang lain itu.
Tak perlu terlalu jauh. Orang tua, saudara, tetangga, juga teman-teman kita adalah mereka yang nampaknya tidak sama dengan kita. Kita tidak mungkin selamanya lari dari mereka hanya karena kita merasa malu dan lebih nyaman dengan golongan kita.
Sobat pembaca, kita bisa tetap menikmati kehidupan kita tanpa harus menegaskan bahwa kita menyembunyikan sesuatu. Bila kita mau berfikir, hal paling identik dengan masalah kita sebetulnya hanya masalah perasaan. Contoh sederhana adalah ketika kita mencintai seseorang.
Maka mulailah menghargai diri kita dari sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 YP's Blog | TNB