Ketika kita menyadari
kondisi ini, saat itu pula kita telah menjadi seorang terdakwa dengan ponis
terberat tanpa tahu apa perkaranya. Ya, tanpa tahu mengapa perkara itu harus
terjadi pada hidup kita.
Selama ini media (baik
yang pro terlebih yang kontra dengan keadaan kita) nyaris tak pernah memaparkan
nilai positif terhadap diri kita. Setidaknya secara tidak langsung bagi mereka
yang pro. Sementara yang kontra tentu jelas-jelas menelanjangi golongan kita.
Coba kita perhatikan,
media yang pro pada kita. Tulisan-tulisan yang dimuat tak lebih mlulu seputar sex.
Suatu sorotan yang walau (seakan) mengangkat sisi positif, tapi secara mutlak
inilah perbedaan dalam diri kita. Hal ini justru semakin membuat kita menjadi
semakin kontras terhadap kehidupan umum di luar sana. Semakin menitik beratkan
pada beban yang selama ini menjadi sumber utama masalah kita. Orientasi seksual
dan sex itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan
media yang kontra? Saya rasa sobat-sobat sudah cukup tahu bagaimana sikap
mereka memandang kita.
Sobat pembaca yang
setia, bila kita memang merasa memiliki hak yang sama, status yang sama, dan
ingin disamakan bukankah sudah seharusnya diri kitalah yang harus menunjukkan dan
memulainya itu. Eksis. Bukan menutup diri dan menegaskan kepada orang lain
bahwa kita menyimpan sesuatu. Bukan berarti kita terbuka begitu saja terhadap
orang lain. Tentu tidak demikian. Kita perlu tampil, seperti orang-orang pada
umumnya yang tampil dengan kemampuannya masing-masing dan tidak hanya masalah sex
saja.
Bila eksistensi kita
hanya dalam warna itu saja, tegas saya katakan: kita sebagai kaum kaum gay tak
lebih dari manusia murahan yang hanya tahu menjajakan sex. Tak lebih dari yang
namanya pelacur. Bukankah hanya pelacur yang selama hidupnya hanya paham
masalah sex dan pemuas nafsu. Ada lagi yang kita ketahui selain itu dari
istilah pelacur!?
Kondisi demikian
membuat eksistensi kita benar-benar menjijikkan. Bahkan untuk manusia hetero
pun jika perilakunya hanya identik dengan nafsu dan sex, maka orang-orang akan
membencinya. Apa lagi golongan seperti kita!
Pernahkah kita
menyimak atau bahkan belajar dan diajarkan sisi lain yang masih sangat
potensial dalam diri kita. Suatu hal dalam diri kita yang memang benar-benar
sederajat dengan kehidupan umum di luar. Hal yang bila mereka pun tidak tahu akan
menjadikan mereka tidak lebih baik dari kita.
Kerendahdirian seorang
kaum gay hanya tentang bagaimana mereka tahu potensi mereka. Dalam hal ini kita
benar-benar sama sederajat dengan orang lain. Bila kita ingin disederajatkan dengan
orang-orang pada umumnya, maka perlakuan adil itu setidaknya dimulai dari diri
kita sendiri. Ya, pertanyaan mendasar dalam masalah ini kita mulai dari diri
pribadi.
Apakah kita sendiri
telah menganggap diri kita sama dan sederajat dengan manusia lainnya?
Bila kita berfikir
“aku berbeda”, maka secara mutlak kita telah memponis diri kita sendiri bahkan
sebelum orang lain menghukum kita. Pernyataan ini sebetulnya merupakan masalah
umum dalam kehidupan manusia. Tanpa peduli apakah dia kaum gay atau bukan.
Tidak jauh berbeda dari orang-orang yang selalu menganggap dirinya miskin,
bodoh, jelek, dan keadaan buruk lainnya yang dia anggap menjadi penghalang
untuk sukses seperti orang lain. Ini bukan masalah orientasi seksual pada
golongan tertentu.
Terlebih kaum kaum gay
memiliki fokus tersendiri pada masalah ini. Bagaimana kita berharap orang-orang
bisa menerima keadaan kita, jika diri kita saja tidak bisa menerimanya. Kita
telah menganggap keadaan kita sebagai suatu masalah yang bahkan orang lain pun
belum tentu menganggapnya demikian. Ketika kita selalu menghubungkan
kepribadian kita hampir di setiap kegagalan dalam hidup kita, secara tidak
langsung kita semakin memperuncing dan mempertegas bahwa hidup sebagai seorang kaum
gay adalah masalah terbesar kita.
Kita tak punya teman,
karena kita adalah kaum gay.
Kita tak bisa pintar,
karena kita adalah kaum gay.
Kita tak bisa mendapat
pekerjaan, karena kita adalah kaum gay.
Tak bisa dekat dengan
orang yang kita cintai, tak bisa sukses, tak bisa meraih cita-cita.
Kita tak bisa apa-apa
hanya karena kita menegaskan bahwa kita adalah kaum gay.
Ya, dengan menegaskan
itu semua maka kita sudah menutup pintu kesuksesan dan kebahagiaan kita. Seakan
kita tidak tahu lagi rencana hidup kita kedepan akan seperti apa dan harus
bagaimana. Kemudian setelah itu semua, satu-satunya hal yang menjadi rencana
kita adalah menutup diri di hadapan orang lain. Membatasi interaksi kita kepada
lingkungan yang sebetulnya bisa membantu kita. Kita hanya mau berkumpul dengan
orang-orang yang dirasa senasib dengan kita untuk sekedar bersenang-senang.
Bila kita meninggalkan
kehidupan sosial bersama orang-orang pada umumnya kita selamanya tidak akan
terlatih menghadapi kondisi kita. Orang-orang yang senasib dengan kita pun
hanya memanjakan kita dengan kondisi tersebut tanpa memberi pengalaman dalam
menghadapi masalah utama kita.
Kita bisa merasa
senang bersama orang-orang yang sama dengan kita. Merasa lebih dihargai, merasa
bisa diterima dan didukung sepenuhnya, tidak dicemooh, tidak disakiti dan lain
sebagainya. Tapi ingat! Di dunia ini kita hidup bersamanya banyak orang. Dunia
ini tak bisa hanya diisi dan dilalui oleh orang-orang seperti kita. Sepertinya
jumlah kita jauh lebih sedikit dan itu membuat kita mau tidak mau lebih banyak
berinteraksi dengan orang lain itu.
Tak perlu terlalu
jauh. Orang tua, saudara, tetangga, juga teman-teman kita adalah mereka yang
nampaknya tidak sama dengan kita. Kita tidak mungkin selamanya lari dari mereka
hanya karena kita merasa malu dan lebih nyaman dengan golongan kita.
Sobat pembaca, kita
bisa tetap menikmati kehidupan kita tanpa harus menegaskan bahwa kita
menyembunyikan sesuatu. Bila kita mau berfikir, hal paling identik dengan
masalah kita sebetulnya hanya masalah perasaan. Contoh sederhana adalah ketika
kita mencintai seseorang.
Maka mulailah
menghargai diri kita dari sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar