Orang seperti kita cenderung sulit menemukan sahabat.
Setidaknya orang yang bisa banyak mendengar curahan kita. Manusia memang lebih
banyak berbicara dan tak terlalu betah mendengar. Ini terjadi secara umum dan
khusus untuk diri kita sendiri harus pula ditambah sikap kehati-hatian terhadap
siapa yang bisa atau boleh mendengar tentang kondisi kita. Tak dapat
dipungkiri, tidak semua orang bisa menerima. Salah-salah apa yang kita
sampaikan menjadi cemooh yang tak berujung celotehannya. Untuk itu perlu
kiranya kehati-hatian yang cukup ekstra dalam memilih lawan bicara untuk
curhat.
Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah latar
belakang orang yang bisa kita ajak berdiskusi. Ini merupakan hal cukup sulit
karena kita dituntut untuk sedikit memahmai karakter orang lain. Tapi
setidaknya orang yang memiliki tujuan hidup jelas (orientasi) cenderung bisa
bersikap sportif dan memotivasi. Seseorang yang memilki rutinitas positif,
memiliki prinsip hidup, memiliki prestasi, dan banyak menggunkan waktu luangnya
untuk hal positif akan memiliki alternatif bahakan tanggung jawab dalam masalah
kita.
Memang bukan berarti mereka harus selalu memenuhi
keinginan kita. terutama saat kita mulai memiliki ‘masalah’ dengan seseorang.
Kita tidak bisa semene-mena meminta sahabat kita untuk membuat orang yang kita
cintai menjadi milik kita sepenuhnya. Itu terlalu jauh. Membuat sahabat kita
memahami diri kita membutuhkan waktu. Lalu siapa-siapakah yang bisa kita
jadikan sahabt itu?
Pengalaman saya mengajarkan bahwa memang cukup banyak
orang yang tak mau ambil pusing dengan kondisi kita. Ya, mereka memang bisa
akrab dengan kita, tapi itu tidak cukup. Walau beberapa tak merasa keberatan
dengan kondisi kita bisa jadi itu hanyalah sebuah sikap apatis terhadap
lingkungan sekitar. Dengan kata lain sebetulnya bukan karena mereka bisa
menerima, tapi mereka terlalu cuek dengan dengan kondisi orang lain. Tidak
pernah memkamung suatu hal sebagai masalah yang harus diselesaikan, terutama
masalah kita ini.
Mungkin awalnya kita meresa nyaman. Namun, lama-kelamaan
saat kita sudah sulit mengendalikan perasaan kita dan mulai timbul masalah
dengan orang yang kita cintai (misal orang itu tau kondisi kita, masalah dengan
keluarga, dan sebagainya), maka ‘sahabat’ yang satu ini tetap teguh dengan
sifat aslinya, tidak peduli.
Ia hanya mendengarkan. Suatu saat itu akan sangat
membosankan baginya. Bahkan kemudian ia bisa muak dengan kita hanya karena memkamung
kita pkamui berkeluh kesah. Tipe ‘sahabat’ yang apatis tidak akan terlatih
menyelesaikan masalah. ‘Sahabat’ ini memang pernah mengatakan “Bila kau punya
keinginan, kau pasti bisa mengendalikan perasaanmu. Kau bisa berubah suatu saat
nanti. Aku akan membantumu.”
Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa sebetulnya ia tak
terlalu peduli sudah sejauh mana usaha kita. Atau bahkan ia memang tak pernah
berfikir apa yang seharusnya kita lakukan saat masalah datang.
Lebih ironis lagi bila belakang hari ternyata ‘sahabat’
kita i terlihat jauh lebih lemah dari diri kita. Kondisi akan menjadi terbalik.
Kitalah yang akhirnya lebih banyak mendengar keluh kesahnya, bahkan untuk
sesuatu yang seharusnya lebih ia syukuri daripada yang menimpa diri kita. Putus
dengan pacar, tidak punya uang, bertengkar dengan teman sekelas, nilai anjlok, dilarang
keluar malam, dan celotehan cengeng lainnya yang tentu saja masih jauh lebih
baik dari pada kondisi kita. Ia bukanlah sahabat yang bisa memperbaiki keadaan.
Itu hanya sahabat yang tahunya hanya curhat ini-itu, berkeluh kesah, bahkan
hanya mengenal kita saat duka, kita tak akan terlalu banyak diingat saat ia
tertawa. Apa lagi berharap ia akan membantu menyelesaikan masalah kita.
Lalu siapakah sahabat itu?
Mereka adalah orang yang selalu memastikan jika kita
sedang baik-baik saja. Bagaimana bisa?
Ya, ketika mereka tahu kondisi kita, maka mereka akan
benar-benar melihat kita sebagai orang yang serius meminta bantuan. Membutuhkan
pertolongan. Seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya, bahwa sahabat
seperti ini biasanya dari golongan orang-orang yang memiliki orientasi atau
tujuan hidup. Kita bisa memperhatikannya dari aktivitas keseharian mereka.
Apakah cenderung memiliki kegiatan positif atau terlalu banyak untuk kegiatan
hura-hura? Orang-orang seperti mereka memang cenderung lebih eksklusif karena
kebanyak adalah orang-orang yang memiliki kesibukan rutin. Aktivis organisasi, siswa
kelas unggulan, atau kesibukan lainnya. Ini memang kebiasaan orang-orang yang
memiliki tujuan hidup konstruktif. Bukan mereka yang hanya sekedar nongkrong di
kantin untuk sekedar hahahihi, bukan mereka yang hanya sekedar menghabiskan
malam minggunya untuk jalan-jalan dengan pacar, bukan yang mencari teman
sekedar untuk senang-senang menjalani hobi semata, sekali lagi bukan mereka.
Orang-orang seperti mereka tak dapat diajak berfikir tentang masalah karena
mereka memang tidak mau kenal susah.
Saya sendiripun memiliki pengalaman dengan beberapa orang
sahabat. Bahkan di antarnya kebanyakan aktivis keagamaan, aktivis rohis.
Sobat pembaca. Mungkin ini agak mencengangkan. Mengingat
selama ini diskriminasi terhadap diri kita dilempar oleh golongan ormas yang
mengusung nama agama. Tapi ingat, itu berlaku bagi mereka kaum gay yang memang
selama ini eksis dengan segala perilaku menjijikkannya. Sementara kita yang
benar-benar paham akan kondisi yang perlu disesuaikan ini (tak hanya sekedar
memkamung dari keinginan pribadi sebagai seorang gay) memiliki tujuan hidup
yang cukup berbeda.
Inilah yang justru bisa mengangkat derajat dan harga diri
kita. Membuat kita berbeda dan dapat diperlakukan dengan sangat baik, bahkan
oleh orang-orang yang nampaknya selama ini kita kenal sangat membenci kita,
orang-orang alim itu.
Sedih bercampur senang. Mereka akan prihatin dengan
kondisi (untuk selanjutnya kita sebut ‘ujian’) yang menimpa kita. Namun dengan mencurahkan
ketidaknyamanan kita selama merasa menjadi gay, akan membuat kita tampil sebagai
manusia yang menyadari kelemahan dan mencoba untuk menjadi lebih baik.
Saya juga tak menyangka, bagaimana orang-orang yang saya
anggap memiliki pengetahuan lebih tentang agama, yang bahkan bisa membuat
mereka menghakimi dan membenci saya, ternyata justru menjadi tempat curhat yang
nyaman bagi saya. Justru dengan memahami betapa sulitnya kondisi kita, mereka
akan dengan lemah-lembut memberi kita masukan dan semangat.
Bahkan mereka akan bertanya bagaimana kondisi kita setiap
waktu. Memastikan apakah temannya ini baik-baik saja. Mereka akan mengajak kita
berbicara bahkan sebelum kita ingin bercerita tentang pengalaman kita hari ini.
Orang-orang seperti mereka punya caranya tersendiri untuk mengobati kita.
Memiliki seorang sahabat dari golongan hetero yang
memahami kita membuat pikiran kita cukup teralihkan dari sesuatu yang selalu berbau
sakit hati, segay, orang yang kita cintai, nasib kita, dan segala hal buruk
pada diri kita kepada sesuatu yang lain. Dia mengajak kita secara perlahan dan
tidak langsung, tanpa kita sadari, kepada suatu hal yang selama ini sama sekali
tidak menjadir perhatian kita. Setidaknya untuk mengalihkan rasa jenuh dan
stress karena selalu meratapi nasib buruk kita.
Orang-orang yang memiliki pedoman hidup akan turut
mengajak kita untuk menjadi sama dengan mereka. Menjadi manusia yang memiliki
tujuan hidup. Bukan menjadi orang yang hanya sekedar bisa berkeluh-kesah.
Mereka bisa menyibukkan kita ke toko buku, mengerjakan tugas bersama, berkumpul
dengan sahabat-sahabat terbaik mereka (yang juga akan menjadi sahabat kita),
mengikuti seminar, sekedar bermain game, membuka bisnis kecil-kecilan, memberi
kita buku bacaan yang berkualitas, berdiskusi, bahkan mengikuti/menjadi
pengurus organisasi, atau bahkan juga mengajak kita pada kajian keagamaan tiap
pekan.
Ya, suatu hal yang mungkin bagi kita sangat asing dan
membosankan. Tidak menyenangkan. Tak ada hura-hura dan sepertinya akan membuat
kita semakin tertekan. TAPI INGAT, bukankah kegiatan-kegiatan kita sebelumnya
tidak membuat hidup kita menjadi lebih baik! Bukankah teman-teman kita yang
dahulu tidak membuat kita menjadi lebih nyaman! Lalu, mengapa kita tidak
mencoba sesuatu yang baru.
Ini memang sulit. Untuk langkah pertama kita akan
dihadapkan pada rasa minder luar biasa karena merasa diri kita bukan
siapa-siapa. Sementara mereka adalah orang-orang dengan eksklusivitas luar
biasa. Tak masalah, saya beri caranya:
1.
Pertama, amati kira-kira sipa orang yang menurut kamu
tepat untuk kamu jadikan sahabat. Secara umum kamu bisa memilih dari mereka yang:






Selain
kepribadian personal di atas, perlu diperhatikan juga respon terhadap diri
kita:


2.
Jika setelah melalui point di atas kamu sudah bisa
menentukan siapa calon sahabat kamu, berikutnya adalah pendekatan. Tingkatkan
interaksi kamu dengan orang itu. Tak perlu susah-susah. Cukup dengan sapaan
sebelum kamu pulang terlebih dahulu, atau kamu bisa bergabung secara tidak
langsung dengan kelompoknya untuk belajar bersama atau hanya sekedar obrolan
ringan (tapi ingat, jangan terlalu berlebihan karena kamu masih orang baru).
Pendekatan terbaik adalah ketika dia melakukan undangn secara umum. Pada suatu
acara misalnya. Seperti seminar, pelatihan, bermain futsal, jalan-jalan ke
salah satu teman, belajar bersama, kajian mingguan dan lain sebagianya.
Tunjukkan bahwa kamu tertarik dengan agenda yang dimilikinya. Patikan kamu
boleh mengikutinya dengan bertanya: “Apakah saya boleh ikut?”. Ini sekedar
mengantisipasi jika kegiatan tersebut tidak untuk golongan tertentu.
Semakin sering kita berinteraksi, semakin hilang
keasingan kita terhadapnya. TAPI INGAT, jangan lebay. Itu akan membuatnya
menjadi ‘TAKUT’ pada kita.
3.
Mulailah untuk curhat. STOP! Maksudnya mengutarakan
masalah pribadi kamu selain masalah orientasi seksual. Belum saatnya untuk itu.
Curhta yang harus kamu angkat untuk masalah-masalh sedang dalam kehidupan kamu.
Seperti perlakuan orang tua kamu (yang mungkin terlalu over protective),
hubungan kamu dengan saudaramu, kendala belajar dan beraktivitas, dan lain
sebagainya. Intinya curhatan yang tidak terlalu berat, tapi juga tidak sekedar
basa-basi. Hubungi dia di luar kondisi formal. Bisa melaui sms di sore atau
malam hari. Ini akan membuat kamu terkesan mengingatnya sebagai orang yang
layak dijadikan tempat berkonsultasi saat ada masalah.
Perhatikan responnya. Ini sebagai langkah utama dalam
menentukan apakah dia peduli padamu atau responnya hanya sekedar membalas sms
dan menganggapmu sebagai teman biasa. Jika suatu ketika (dalam beberapa hari)
ia menanyakan kabarmu (terutama terkait masalah yang kamu utarakan), maka dia
memiliki potensi besar untuk menjadi sahabatmu. Proses ini merupakan tahap yang
paling lama. Kamu butuh beberapa minggu bahkan bulan untuk benar-benar
memastikan jika dia adalah orang yang cocok untuk kamu jadikan sahabat.
4.
Terakhir tentu saja. Terbukalah! Bila dia sudah terbiasa
denganmu. Bahkan sudah sering mengajakmu terlibat dalam aktivitasnya, maka
mulailah untuk mengungkapkan masalahmu. Namun berdasar pengalaman pribadi,
kondisi yang kita hadapi saat itu sudah cukup membuat kita bisa menikmati
hidup. Dengan kata lain saya sendiri kala itu sudah tak terlalu sibuk dengan
kesedihan saya sebagai seorang gay. Tentu karena saya sudah mulai bisa
menikmati aktivitas positif yang ditularkan oleh sahabat saya itu. Sehingga
secara tidak langsung kesadaran akan makna hidup bisa saya temukan. Makna hidup
yang tidak semestinya selalu diratapi karena masih banyak yang jauh lebih baik.
Namun bila memang masih perlu berbicara tentang kondisi
kita, tak masalah. Kita hanya butuh keberanian. Bila ada kesempatan, bicaralah.
Tapi tetap waspada. Selama proses pencarian sahabat (ingata SAHABAT) ada proses
yang membuat kita menjadi dekat dengan seseorang. Tentu saja orang itu bukan
orang biasa. Bila kita salah melangkah, maka sangat mungkin ia akan kita anggap
lebih dari seorang SAHABAT. Terutama jika mereka satu gender dengan kita.
Jangan sampai kita menyalah gunakan kesempatan yang telah kita gunakan malah
untuk mendekatinya dan berharap dia menjadi pacar kita. Itu kesalahan FATAL.
Baiklah sobat pembaca. Itulah berapa tips berdasar
pengalaman yang dapat saya bagi dengan kamu-kamu sekalian. Semoga mendapat sahabat yang bisa membuatmu
menjadi lebih baik. Tetap semangat.
0 komentar:
Posting Komentar