TIPS MENCARI DAN MENDAPATKAN SAHABAT YANG TEPAT

Jumat, 23 Mei 2014 0 komentar
Orang seperti kita cenderung sulit menemukan sahabat. Setidaknya orang yang bisa banyak mendengar curahan kita. Manusia memang lebih banyak berbicara dan tak terlalu betah mendengar. Ini terjadi secara umum dan khusus untuk diri kita sendiri harus pula ditambah sikap kehati-hatian terhadap siapa yang bisa atau boleh mendengar tentang kondisi kita. Tak dapat dipungkiri, tidak semua orang bisa menerima. Salah-salah apa yang kita sampaikan menjadi cemooh yang tak berujung celotehannya. Untuk itu perlu kiranya kehati-hatian yang cukup ekstra dalam memilih lawan bicara untuk curhat.
Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah latar belakang orang yang bisa kita ajak berdiskusi. Ini merupakan hal cukup sulit karena kita dituntut untuk sedikit memahmai karakter orang lain. Tapi setidaknya orang yang memiliki tujuan hidup jelas (orientasi) cenderung bisa bersikap sportif dan memotivasi. Seseorang yang memilki rutinitas positif, memiliki prinsip hidup, memiliki prestasi, dan banyak menggunkan waktu luangnya untuk hal positif akan memiliki alternatif bahakan tanggung jawab dalam masalah kita.
Memang bukan berarti mereka harus selalu memenuhi keinginan kita. terutama saat kita mulai memiliki ‘masalah’ dengan seseorang. Kita tidak bisa semene-mena meminta sahabat kita untuk membuat orang yang kita cintai menjadi milik kita sepenuhnya. Itu terlalu jauh. Membuat sahabat kita memahami diri kita membutuhkan waktu. Lalu siapa-siapakah yang bisa kita jadikan sahabt itu?
Pengalaman saya mengajarkan bahwa memang cukup banyak orang yang tak mau ambil pusing dengan kondisi kita. Ya, mereka memang bisa akrab dengan kita, tapi itu tidak cukup. Walau beberapa tak merasa keberatan dengan kondisi kita bisa jadi itu hanyalah sebuah sikap apatis terhadap lingkungan sekitar. Dengan kata lain sebetulnya bukan karena mereka bisa menerima, tapi mereka terlalu cuek dengan dengan kondisi orang lain. Tidak pernah memkamung suatu hal sebagai masalah yang harus diselesaikan, terutama masalah kita ini.
Mungkin awalnya kita meresa nyaman. Namun, lama-kelamaan saat kita sudah sulit mengendalikan perasaan kita dan mulai timbul masalah dengan orang yang kita cintai (misal orang itu tau kondisi kita, masalah dengan keluarga, dan sebagainya), maka ‘sahabat’ yang satu ini tetap teguh dengan sifat aslinya, tidak peduli.
Ia hanya mendengarkan. Suatu saat itu akan sangat membosankan baginya. Bahkan kemudian ia bisa muak dengan kita hanya karena memkamung kita pkamui berkeluh kesah. Tipe ‘sahabat’ yang apatis tidak akan terlatih menyelesaikan masalah. ‘Sahabat’ ini memang pernah mengatakan “Bila kau punya keinginan, kau pasti bisa mengendalikan perasaanmu. Kau bisa berubah suatu saat nanti. Aku akan membantumu.”
Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa sebetulnya ia tak terlalu peduli sudah sejauh mana usaha kita. Atau bahkan ia memang tak pernah berfikir apa yang seharusnya kita lakukan saat masalah datang.
Lebih ironis lagi bila belakang hari ternyata ‘sahabat’ kita i terlihat jauh lebih lemah dari diri kita. Kondisi akan menjadi terbalik. Kitalah yang akhirnya lebih banyak mendengar keluh kesahnya, bahkan untuk sesuatu yang seharusnya lebih ia syukuri daripada yang menimpa diri kita. Putus dengan pacar, tidak punya uang, bertengkar dengan teman sekelas, nilai anjlok, dilarang keluar malam, dan celotehan cengeng lainnya yang tentu saja masih jauh lebih baik dari pada kondisi kita. Ia bukanlah sahabat yang bisa memperbaiki keadaan. Itu hanya sahabat yang tahunya hanya curhat ini-itu, berkeluh kesah, bahkan hanya mengenal kita saat duka, kita tak akan terlalu banyak diingat saat ia tertawa. Apa lagi berharap ia akan membantu menyelesaikan masalah kita.
Lalu siapakah sahabat itu?
Mereka adalah orang yang selalu memastikan jika kita sedang baik-baik saja. Bagaimana bisa?
Ya, ketika mereka tahu kondisi kita, maka mereka akan benar-benar melihat kita sebagai orang yang serius meminta bantuan. Membutuhkan pertolongan. Seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya, bahwa sahabat seperti ini biasanya dari golongan orang-orang yang memiliki orientasi atau tujuan hidup. Kita bisa memperhatikannya dari aktivitas keseharian mereka. Apakah cenderung memiliki kegiatan positif atau terlalu banyak untuk kegiatan hura-hura? Orang-orang seperti mereka memang cenderung lebih eksklusif karena kebanyak adalah orang-orang yang memiliki kesibukan rutin. Aktivis organisasi, siswa kelas unggulan, atau kesibukan lainnya. Ini memang kebiasaan orang-orang yang memiliki tujuan hidup konstruktif. Bukan mereka yang hanya sekedar nongkrong di kantin untuk sekedar hahahihi, bukan mereka yang hanya sekedar menghabiskan malam minggunya untuk jalan-jalan dengan pacar, bukan yang mencari teman sekedar untuk senang-senang menjalani hobi semata, sekali lagi bukan mereka. Orang-orang seperti mereka tak dapat diajak berfikir tentang masalah karena mereka memang tidak mau kenal susah.
Saya sendiripun memiliki pengalaman dengan beberapa orang sahabat. Bahkan di antarnya kebanyakan aktivis keagamaan, aktivis rohis.
Sobat pembaca. Mungkin ini agak mencengangkan. Mengingat selama ini diskriminasi terhadap diri kita dilempar oleh golongan ormas yang mengusung nama agama. Tapi ingat, itu berlaku bagi mereka kaum gay yang memang selama ini eksis dengan segala perilaku menjijikkannya. Sementara kita yang benar-benar paham akan kondisi yang perlu disesuaikan ini (tak hanya sekedar memkamung dari keinginan pribadi sebagai seorang gay) memiliki tujuan hidup yang cukup berbeda.
Inilah yang justru bisa mengangkat derajat dan harga diri kita. Membuat kita berbeda dan dapat diperlakukan dengan sangat baik, bahkan oleh orang-orang yang nampaknya selama ini kita kenal sangat membenci kita, orang-orang alim itu.
Sedih bercampur senang. Mereka akan prihatin dengan kondisi (untuk selanjutnya kita sebut ‘ujian’) yang menimpa kita. Namun dengan mencurahkan ketidaknyamanan kita selama merasa menjadi gay, akan membuat kita tampil sebagai manusia yang menyadari kelemahan dan mencoba untuk menjadi lebih baik.
Saya juga tak menyangka, bagaimana orang-orang yang saya anggap memiliki pengetahuan lebih tentang agama, yang bahkan bisa membuat mereka menghakimi dan membenci saya, ternyata justru menjadi tempat curhat yang nyaman bagi saya. Justru dengan memahami betapa sulitnya kondisi kita, mereka akan dengan lemah-lembut memberi kita masukan dan semangat.
Bahkan mereka akan bertanya bagaimana kondisi kita setiap waktu. Memastikan apakah temannya ini baik-baik saja. Mereka akan mengajak kita berbicara bahkan sebelum kita ingin bercerita tentang pengalaman kita hari ini. Orang-orang seperti mereka punya caranya tersendiri untuk mengobati kita.
Memiliki seorang sahabat dari golongan hetero yang memahami kita membuat pikiran kita cukup teralihkan dari sesuatu yang selalu berbau sakit hati, segay, orang yang kita cintai, nasib kita, dan segala hal buruk pada diri kita kepada sesuatu yang lain. Dia mengajak kita secara perlahan dan tidak langsung, tanpa kita sadari, kepada suatu hal yang selama ini sama sekali tidak menjadir perhatian kita. Setidaknya untuk mengalihkan rasa jenuh dan stress karena selalu meratapi nasib buruk kita.
Orang-orang yang memiliki pedoman hidup akan turut mengajak kita untuk menjadi sama dengan mereka. Menjadi manusia yang memiliki tujuan hidup. Bukan menjadi orang yang hanya sekedar bisa berkeluh-kesah. Mereka bisa menyibukkan kita ke toko buku, mengerjakan tugas bersama, berkumpul dengan sahabat-sahabat terbaik mereka (yang juga akan menjadi sahabat kita), mengikuti seminar, sekedar bermain game, membuka bisnis kecil-kecilan, memberi kita buku bacaan yang berkualitas, berdiskusi, bahkan mengikuti/menjadi pengurus organisasi, atau bahkan juga mengajak kita pada kajian keagamaan tiap pekan.
Ya, suatu hal yang mungkin bagi kita sangat asing dan membosankan. Tidak menyenangkan. Tak ada hura-hura dan sepertinya akan membuat kita semakin tertekan. TAPI INGAT, bukankah kegiatan-kegiatan kita sebelumnya tidak membuat hidup kita menjadi lebih baik! Bukankah teman-teman kita yang dahulu tidak membuat kita menjadi lebih nyaman! Lalu, mengapa kita tidak mencoba sesuatu yang baru.
Ini memang sulit. Untuk langkah pertama kita akan dihadapkan pada rasa minder luar biasa karena merasa diri kita bukan siapa-siapa. Sementara mereka adalah orang-orang dengan eksklusivitas luar biasa. Tak masalah, saya beri caranya:
1.      Pertama, amati kira-kira sipa orang yang menurut kamu tepat untuk kamu jadikan sahabat. Secara umum kamu bisa memilih dari mereka yang:
*      memiliki prilaku positif seperti cerdas (tidak perlu terlalu cerdas)
*      sopan (tidak pernah menyindir atau mencela kekurangan orang lain sekalipun hanya berckamu)
*      banyak memiliki teman
*      disiplin mengatur waktu (tidak terlambat dalam beraktivitas)
*      bisa juga mereka yang memilki aktivitas rutin di luar sekolah atau kerja seperti aktiv dalam suatu organisasi, kajian mingguan, hobi menulis, dsb.
*      Motivativ, orang-orang yang terlihat menikmati hidupnya dan selalu menyokong orang lain yang dirasanya memilki masalah.

Selain kepribadian personal di atas, perlu diperhatikan juga respon terhadap diri kita:
*      Dia adalah orang yang selama ini nyaris tak pernah memkamung kekurangan kita (terutama ciri khas kita sebgai seorang gay). Dia memperlakukan kita sama dengan yang lain.
*      Bila kita mengajaknya berbicara/berdiskusi, dia tak hanya mendengarkan tapi akan memberi jawaban yang cukup panjang. Cobalah untuk mengangkat suatu permasalahan yang kira-kira sangat dikuasainya. Bila ia seorang penggiat olah raga, tanyakan masalah apa asyiknya berolah raga. Bila ia seorang penulis, tanyakan apa manfaatnya. Bila ia seorang aktivis lingkungan, tanyakan apa masalah utama lingkungan saat ini dan apa yang harus dilakukan. Bila ia seorang aktivis kerohanian, tanyakan apa tugasnya dan apa masalah masyarakat saat ini. Pancing ia untuk merasa, bahwa kamu juga tertarik dengan sesuatu yang dia suka (kamu tidak harus benar-benar tertarik. Ini hanya untuk menguji apakah dia menghargai kamu atau tidak).
2.      Jika setelah melalui point di atas kamu sudah bisa menentukan siapa calon sahabat kamu, berikutnya adalah pendekatan. Tingkatkan interaksi kamu dengan orang itu. Tak perlu susah-susah. Cukup dengan sapaan sebelum kamu pulang terlebih dahulu, atau kamu bisa bergabung secara tidak langsung dengan kelompoknya untuk belajar bersama atau hanya sekedar obrolan ringan (tapi ingat, jangan terlalu berlebihan karena kamu masih orang baru). Pendekatan terbaik adalah ketika dia melakukan undangn secara umum. Pada suatu acara misalnya. Seperti seminar, pelatihan, bermain futsal, jalan-jalan ke salah satu teman, belajar bersama, kajian mingguan dan lain sebagianya. Tunjukkan bahwa kamu tertarik dengan agenda yang dimilikinya. Patikan kamu boleh mengikutinya dengan bertanya: “Apakah saya boleh ikut?”. Ini sekedar mengantisipasi jika kegiatan tersebut tidak untuk golongan tertentu.
Semakin sering kita berinteraksi, semakin hilang keasingan kita terhadapnya. TAPI INGAT, jangan lebay. Itu akan membuatnya menjadi ‘TAKUT’ pada kita.
3.      Mulailah untuk curhat. STOP! Maksudnya mengutarakan masalah pribadi kamu selain masalah orientasi seksual. Belum saatnya untuk itu. Curhta yang harus kamu angkat untuk masalah-masalh sedang dalam kehidupan kamu. Seperti perlakuan orang tua kamu (yang mungkin terlalu over protective), hubungan kamu dengan saudaramu, kendala belajar dan beraktivitas, dan lain sebagainya. Intinya curhatan yang tidak terlalu berat, tapi juga tidak sekedar basa-basi. Hubungi dia di luar kondisi formal. Bisa melaui sms di sore atau malam hari. Ini akan membuat kamu terkesan mengingatnya sebagai orang yang layak dijadikan tempat berkonsultasi saat ada masalah.
Perhatikan responnya. Ini sebagai langkah utama dalam menentukan apakah dia peduli padamu atau responnya hanya sekedar membalas sms dan menganggapmu sebagai teman biasa. Jika suatu ketika (dalam beberapa hari) ia menanyakan kabarmu (terutama terkait masalah yang kamu utarakan), maka dia memiliki potensi besar untuk menjadi sahabatmu. Proses ini merupakan tahap yang paling lama. Kamu butuh beberapa minggu bahkan bulan untuk benar-benar memastikan jika dia adalah orang yang cocok untuk kamu jadikan sahabat.
4.      Terakhir tentu saja. Terbukalah! Bila dia sudah terbiasa denganmu. Bahkan sudah sering mengajakmu terlibat dalam aktivitasnya, maka mulailah untuk mengungkapkan masalahmu. Namun berdasar pengalaman pribadi, kondisi yang kita hadapi saat itu sudah cukup membuat kita bisa menikmati hidup. Dengan kata lain saya sendiri kala itu sudah tak terlalu sibuk dengan kesedihan saya sebagai seorang gay. Tentu karena saya sudah mulai bisa menikmati aktivitas positif yang ditularkan oleh sahabat saya itu. Sehingga secara tidak langsung kesadaran akan makna hidup bisa saya temukan. Makna hidup yang tidak semestinya selalu diratapi karena masih banyak yang jauh lebih baik.
Namun bila memang masih perlu berbicara tentang kondisi kita, tak masalah. Kita hanya butuh keberanian. Bila ada kesempatan, bicaralah. Tapi tetap waspada. Selama proses pencarian sahabat (ingata SAHABAT) ada proses yang membuat kita menjadi dekat dengan seseorang. Tentu saja orang itu bukan orang biasa. Bila kita salah melangkah, maka sangat mungkin ia akan kita anggap lebih dari seorang SAHABAT. Terutama jika mereka satu gender dengan kita. Jangan sampai kita menyalah gunakan kesempatan yang telah kita gunakan malah untuk mendekatinya dan berharap dia menjadi pacar kita. Itu kesalahan FATAL.

Baiklah sobat pembaca. Itulah berapa tips berdasar pengalaman yang dapat saya bagi dengan kamu-kamu sekalian.  Semoga mendapat sahabat yang bisa membuatmu menjadi lebih baik. Tetap semangat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 YP's Blog | TNB